Suatu
masa hiduplah yang bernama Cinta. Dia tak berupa hingga nilainya pun tak
sanggup jika diukur. Dunia ini sangat mengenalinya, terlebih orang-orang yang
menjadikannya alasan untuk hidup. Selain Cinta, hidup pula yang bernama Uang.
Dia berupa bahkan beragam nilainya. Dunia ini pun mengenalinya. Orang-orang
merasa bangga dengannya, bagi sebagian orang dia sangat penting untuk memenuhi
segala kebutuhan hidupnya. Ada juga yang bernama Nafsu hidup diantara mereka.
Dia kadang baik kadang juga buruk, tergantung siapa yang mengendalikannya.
Ketika
Cinta bertemu dengan Uang di suatu taman, mereka berbincang mengenai arti
kebahagiaan.
“Menurutmu,
apa arti bahagia?” tanya Cinta.
“Bahagia
itu ya saat aku bisa memiliki segalanya. Jika menurutmu Cinta?” jawab Uang sekaligus
balik bertanya pada Cinta.
“Bahagia
itu saat aku bisa memberi apapun dengan tulus.”
“Memberi?
Hanya memberi? Tidak mengharapkan sesuatu pun? Tulus? Tanpa imbalan? Bukankah
di dunia ini tidak ada yang gratis?” Uang bertanya-tanya dengan nada tinggi
seolah tak menerima jawaban Cinta.
“Ya.
Karena aku yakin jika bahagia dengan prinsipku, aku bisa mendapatkan apapun,
terserah Sang Pencipta. Cukup memberi yang ku punya. Memang tidak ada yang
gratis, namun apa salahnya kita memberi? Justru saat kita bisa memberilah kita
akan merasa lebih bahagia. Kita bisa memberikan apa-apa yang mungkin sedang
diharapkan. Pencipta kita pun akan membalasnya, kita pun tentu bisa memiliki
seperti yang kau bilang,” Cinta menjawab dengan tetap tenang.
Uang
terpesona dengan penjelasan Cinta yang lembut. “bolehkah aku bertanya lagi?”
“Tentu.”
“Apakah
kamu tidak ingin memiliki segalanya?”
“Bukan tidak ingin, namun ada baiknya jangan. Hidup
ini memang sangat indah terlebih jika kita memiliki segalanya, bahagia
menurutmu juga tidak salah namun kita tidak boleh egois. Ada orang yang mungkin
lebih membutuhkan namun tak beruntung. Apakah kamu masih bisa memiliki jika
nilaimu kecil?”
“Bisa
hanya tak banyak.”
“Lalu
jika kamu tak bernilai sama sekali?”
“Bagaimana
bisa, mustahil aku memiliki jika diriku tak bernilai sama sekali, apa yang bisa
ku beli.”
“Kalau
begitu jika bahagia itu harus memiliki segalanya, kasihan mereka yang tak mampu
membeli apa-apa. Mereka dibiarkan tidak bahagia?”
Uang
seolah kehabisan kata-kata. Cinta meneruskan perkataannya.
“Maka
dari itu bahagia akan jauh lebih besar rasanya apabila kita memberi. Kita bisa
berbagi kebahagiaan. Walau seandainya saat sempit sekali pun, yakinlah bahagia
itu masih ada jika kita bersyukur”.
“Cukup
Cinta, sepertinya aku harus pergi,” teriak Uang sambil berlalu.
“Silahkan”
jawab Cinta tersenyum keheranan.
Di
perjalanan Uang memikirkan kata demi kata yang keluar dari mulut Cinta. Menurut
dia ada benarnya, namun rasanya ada yang belum bisa diterima. Bagaimana bisa
memberi dengan tulus tanpa mengharapkan apapun. Uang mengkerinyitkan dahi
sepanjang jalan, tiba-tiba ada Nafsu lewat lalu menyapanya.
“Heh
Uang ada apa denganmu?”
“Hah?
Aku?”
“Iya
kamu. Wajahmu lucu.”
“Ah
kamu bisa saja. Aku tidak apa-apa, hanya sedikit berpikir.”
“Pantas
saja alismu begitu. Haha apa yang kamu pikirkan Uang?”
“Nah
kebetulan bertemu denganmu, bolehkah aku bertanya?”
“Tentang?”
“Menurutmu
Nafsu, apa arti bahagia?”
“Harus
dijawab?”
“Iya
cepatlah tak perlu banyak tanya lagi” jelas Uang tegas kekesalan.
“Galaknyaa..
Bahagia menurutku ya segalanya sesuai dengan yang ku inginkan.”
“Berarti
ada yang kamu harapkan?”
“Iya
dan segalanya harus sesuai. Aneh. Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?”
Lalu
Uang pun bercerita kepada Nafsu mengenai pembicaraannya dengan Cinta. Nafsu
sepertinya tidak menerima apa yang dikatakan Cinta.
“Bagaimana
bisa kita bahagia dengan memberi? Sedangkan kita juga membutuhkannya. Hidup ini
terlalu sayang untuk dibiarkan begitu saja. Bahagia itu bebas melakukan apapun,
tidak hanya memberi, kita juga harus memilikinya. Bagaimana bisa menikmati jika
tidak memiliki?” ucap Nafsu dengan
emosi.
“Persepsiku
berarti tidak salah? Kamu setuju?”
“Iyalah.
Tentu kita akan bahagia saat kita bisa membeli ini dan itu, memiliki ini dan
itu, memuaskan diri dululah yang penting. Pasti bahagia.”
Perbincangan
antara Uang dan Nafsu semakin menyudutkan persepsi Cinta untuk ditolak. Mereka
menganggap Cinta terlalu mengada-ngada. Hidup ini realistis dan jangan munafik,
segala keindahan dunia ini bisa dimiliki hanya jika bisa dibeli.
Uang
pun menemui Cinta menceritakan pertemuannya dengan Nafsu. Uang mencoba
mempertahankan persepsinya namun Cinta tak menyalahkan. Cinta tetap lembut
menjelaskan maksudnya.
“Aku
hanya ingin kamu menyadari suatu hal. Hidup di dunia ini hanya semu, sementara,
tak akan selamanya. Apa yang kita miliki akan dipintai pertanggung jawabannya.
Sebelum meninggalkan dunia ini pun bisa saja Sang Pencipta mengambil semua apa
yang kita miliki. Namun apakah kita akan berhenti bahagia?”
“Kebiasaanmu
slalu saja bawa-bawa Sang Pencipta,” ujar Uang sambil memalingkan wajahnya.
“Loh
mengapa kamu marah? Bukankah Kita diciptakan oleh-Nya?”
“Iya,”
nada Uang masih sebal.
“Kita
diciptakan pasti dengan alasan dan tujuan. Dunia ini butuh kamu untuk memenuhi
kebutuhannya, namun mereka terkadang lupa denganku. Kamu terlihat jelas
nilainya, sedangkan aku tidak terlihat. Sebenarnya mereka juga sangat
membutuhkan aku.”
“Dunia
ini membutuhkan aku?”
“Iya
Uang, kamu membuat orang menjadi tidak kelaparan, kamu membuat orang menjadi
berpendidikan, membuat orang bisa menjelajahi dunia, dan banyak hal yang
membuat mereka bahagia. Seperti bahagia yang kamu bilang.”
“Benarkah?
Lalu hubungannya aku denganmu?”
“Kita
sama-sama saling dibutuhkan. Hidup ini akan terasa seimbang. Cinta membuat
perbedaan menjadi satu, membuat egois harus mengalah, membuat orang rela untuk
berkorban, dan mereka harusnya menjadikan aku alasan untuk dekat dengan Sang
Pencipta, maka aku harus slalu menghubungkan dengan-Nya. Jika aku tidak begitu mungkin aku pun akan
seperti yang Nafsu bilang. Aku akan menuntut lebih dari takdir Pencipta,
memuaskan diri, menyengsarakan hidup bahkan orang bisa mati terbunuh atau
membunuh. Kamu pun harus begitu, kalau tidak dan kamu menuruti kata Nafsu maka akan merusak, orangtua akan meninggalkan
anaknya, suami lupa istrinya, membuat orang membunuh atau terbunuh.”
“Kamu
benar Cinta, kalau begitu saat kamu dan aku terhubung dengan Sang Pencipta maka
dunia ini bahagia? Sepertinya Nafsu harus mendengar apa katamu." Ucap Uang
menyetujui Cinta.
"Ya.
Dunia ini pun butuh Nafsu."
"Butuh
aku?" Tiba-tiba Nafsu datang mendekati mereka.
“Iya,”
jawab Cinta tersenyum.
“Nah
kebetulan kamu datang, kamu harus mendengarkan apa kata Cinta wahai Nafs,” ujar
Uang meyakinkan.
“Oh
ini yang namanya Cinta. Coba jelaskan menurutmu mengapa dunia butuhkan aku?
Karena seringnya aku disalahkan saat keburukan terjadi.”
“Tidak
hanya untuk hal buruk diri kamu ada, Sang Pencipta menciptakanmu tentu ada fungsinya.
Contoh saja saat orang harus makan karena butuh energi, kalau tidak ada nafsu
mana bisa makan? Hmm malasmu jika tidak berlebihan justru membuat orang agar
tidak terus bekerja sepanjang hari. Kamu pun membuat orang semangat melakukan
sesuatu, membuat orang bisa tertidur beristirahat, menjadikan dunia ini
memiliki generasi penerus dan banyak hal. Kamu berguna jika dikendalikan dan
tidak berlebihan, maka kamu pun harus...”
“Harus
terhubung dengan Sang Pencipta. Ya kan?” sahut Uang menambahkan dengan tegas.
“Betul
Uang. Kalau kita bersatu dan terhubung dengan Sang Pencipta maka dunia ini
bahagia.”
“Kalau
begitu kamu yang utama Cinta, biarkan kamu kuat karena Sang Pencipta agar kamu
bisa mengendalikan aku dan Uang. Lalu Uang juga diperlukan dan aku pelengkap
diantara kalian yang harus dikendalikan. Aku bisa jadi pendukung bisa jadi
penghambat, tergantung kuat atau tidaknya hubungan dengan Sang Pencipta.”
Akhirnya
mereka sepakat mengenai arti bahagia saat didasari oleh Sang Pencipta. Bukan
tentang memiliki atau tidak, karena semua ini hanya titipan dari Pencipta, namun
ini tentang tulus atau tidak memberi. Terkadang untuk bahagia harus berkorban
lebih besar, inilah hidup di dunia, bukan saat untuk hanya memuaskan diri.
-Selesai-
Blog
post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana:
Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com
No comments:
Post a Comment